Re-edited
Copyright © 2000 Ekowati Chasanah
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
EVOLUSI
FILOSOFIS KONSEP MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN:
Refleksi dinamika pemahaman masalah sosial
& lingkungan oleh masyarakat
Oleh:
Ekowati Chasanah
(IPN P09600003)
PENDAHULUAN:
Dalam sebuah artikel elektronik
(Anonim, 2000), disebutkan bahwa pengungkapan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tak kunjung selesai semisal: siapa saya, apa itu kebenaran,
telah mendorong berkembangnya filosofi. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa
sejarah menunjukkan bahwa pendekatan tersendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan
semacam ini pada umumnya tidak sama untuk kurun jaman yang berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi terutama pada pengetahuan,
teknologi, dan etika yang berlaku pada jaman-jaman tersebut. Perlu pula
disebutkan di sini bahwa ada gilirannya, perkembangan yang terjadi pada
filosofi-filosofi itu akan berdampak balik faktor-faktor penentu dari perkembangan
filosofi itu sendiri. Misalnya, perkembangan filosofi dapat bermuara pada
berdirinya sebuah bentuk etika atau sistim nilai baru.
Makalah ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan adanya konsistensi atas fenomena sebagaimana digambarkan pada
alenia di atas, pada bidang keilmuan perikanan karena latar belakang penulis
selama ini bekerja dalam institusi di bidang perikanan. Dalam hal ini, penulis
akan mengungkapkan sebuah tinjauan terhadap perkembangan filosofis yang
tertuang dalam konsep ataupun model yang mendasari tindakan masyarakat
perikanan. Secara lebih spesifik, konsep atau model dimaksud adalah ‘tingkat penangkapan optimum’, yaitu
batasan ilmiah yang menunjukkan besarnya tingkat pemanenan / penangkapan yang
seharusnya diterapkan pada kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan.
PERKEMBANGAN KONSEP ‘TINGKAT
PENANGKAPAN OPTIMUM’
Sejauh ini, perkembangan pengertian
atas konsep ‘tingkat penangkapan optimum’ dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
telah melewati tiga tahapan (Cunningham, 1985; Copes, 1981; Christy, 1973):
1.
Tahap dimana kegiatan penangkapan stok
perikanan diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi (maximum sustainable yield, MSY).
Pendekatan dalam konsep ini didasarkan sepenuhnya pada variabel dan parameter
biologis.
2.
Tahap dimana arah kegiatan penangkapan
dititik-beratkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan
pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi (maximum economic
yield, MEY). Dengan demikian, selain mempertimbangkan variabel dan parameter
biologi, konsep ini juga memasukkan variabel dan parameter ekonomi.
3.
Tahap dimana kegiatan penangkapan
diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial
tertinggi (socially optimum yield, OSY). Konsep ini didasarkan pada pendapat
kritikus terhadap konsep MEY (mis. Charles, 1994), bahwa pertimbangan dalam
penentuan tingkat penangkapan optimal seharusnya tidak terbatas pada variabel
ekonomis dan biologis saja, melainkan harus mencakup segenap aspek yang
terkait. Di
antara aspek-aspek terkait tersebut adalah aspek sosial (Healey, 1984), politik
(Beddington and Rettig, 1983), budaya (Charles, 1994). Sebagian
sosiolog (mis. Christy, 1973) bahkan memasukkan aspek yang tampak tidak ada
hubungannya dengan perikanan semisal nasionalisme.
Optimum biologi
Konsep
biologi merupakan yang pertama memberikan interpretasi terhadap istilah tangkap
optimum (Schaefer, 1954). Menurut konsep ini, penentuan nilai optimum dilakukan
berdasar model pertumbuhan populasi alami (natural
population growth model). Model ini didasarkan atas teori yang menyatakan
keterkaitan antara tingkat kepadatan dengan tingkat pertumbuhan populasi ikan.
Implikasi lanjut dari teori tersebut adalah bahwa aktivitas penangkapan konstan
sebesar laju pertumbuhan tertentu akan menyebabkan bertahannya populasi pada
tingkat kepadatan tertentu pula.
Keterbatasan
ketersediaan makanan dan ruang menyebabkan pertumbuhan populasi akan menurun
sejalan dengan kenaikan kepadatan populasi. Oleh karena itu, hubungan antara
tingkat pertumbuhan dan tingkat kepadatan pupulasi biasanya digambarkan dengan
kurva berbentuk genta. Puncak dari kurva itu menunjukkan pertumbuhan maksimum
dari populasi ikan, dan nilai itulah tingkat pemanenan tertinggi yang
diperbolehkan atas stok ikan yang bersangkutan (MSY). Tampak di sini bahwa
sasaran optimalisasi menurut konsep MSY adalah tujuan biologis, yaitu
pencapaian produksi tertinggi berdasarkan kapasitas sumberdayanya.
Konsep optimum berikutnya dikembangkan kemudian oleh para ekonom, dengan
mengedepankan paradigma baru, yaitu efisiensi. Dalam hal ini, model pertumbuhan
populasi alami diperbaiki dengan pencantuman variabel dan parameter ekonomi,
sehingga besarnya laba bersih dari setiap tingkat penangkapan tertentu dapat
ditentukan. Parameter biaya perlu dicantumkan dengan pertimbangan bahwa
realisasi potensi produksi dari suatu populasi tidak terlepas dari penyertaan
input sampai tingkat tertentu.. Dari model ini, dapat ditentukan tingkat panen
yang memberikan laba bersih tertinggi, yang disebut sebagai maximum economic yield (MEY). Pada masa
itu, para ekonom meyakini bahwa MEY itulah konsep optimum yang sesungguhnya
(Healey, 1984).
Perkembangan kompleksitas masalah dalam manajemen perikanan mendorong
pemikiran baru untuk merumuskan konsep panen optimum yang lebih baik. Konsep
lama, yang terbukti cukup mampu untuk menjawab persoalan yang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya perikanan selama bertahun-tahun, dirasa tidak mampu lagi
menjawab persoalan baru yang muncull beberapa waktu kemudian. Bahkan, terbukti
bahwa asumsi-asumsi yang dipergunakan pada konsep yang lama lama sangat
berpotensi untuk menghancurkan kelangsungan sumberdaya perikanan. Sebagaimana
dikemukanan oleh para ahli ilmu sosial, e.g., Crutchfield (1975), Roedel
(1975), dan Healey (1984), konsep MEY terbukti tidak cukup fleksibel untuk
menghadapi perkembangan kompleksitas masalah tersebut. Kelemahan konsep MEY pun
diakui oleh beberapa pendukungnya, misalnya Christy (1977).
Secara lebih spesifik, Healey (1984) mengatakan bahwa optimum yield
seharusnya tidak hanya memasukkan variabel-variabel ekonomi yang terkait
langsung dengan produksi (biaya ekploitasi, nilai penjualan, dan tingkat suku
bunga), melainkan harus pula merangkum variabel-variabel tak langsung seperti
misalnya nilai konservasi, nilai sosial, dsb. Sebetulnya, sepanjang tersedia
teknik yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomis dari
variabel-variabel tak langsung tersebut, konsep MEY telah cukup memadai (Copes,
1981). Masalahnya, penentuan nilai ekonomis dari variabel-variabel yang
sebenarnya relevan dengan manajemen suatu sumberdaya perikanan sering tidak
mudah. Sebagai contoh, Pollnac & Littlefield (in Healey, 1984) menunjuk suatu
variabel berupa manfaat psikis yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan.
Contoh lain dari variabel penting yang sulit untuk dikuantifikasikan adalah
‘etika’, sebagaimana didiskusikan dalam Sears (1965). Diskusi tentang etika
secara umum menyimpulkan bahwa harus ada keseimbangan dalam menyikapi
keberadaan sumberdaya alam. Rees (1990), misalnya, mengatakan bahwa pemanfaatan
sumberdaya oleh manusia tidak boleh mengorbankan tatanan alam; misalnya.,
pembangunan yang ditujukan untuk manfaat-manfaat yang bersifat ekonomis harus
menghindari penurunan keindahan alam. Di sisi lain, literature lain (e.g.,
WECD, 1987 and Brown, 1995) mengingatkan pentingnya eksistensi manusia dalam
mengusahakan pelestarian alam. Sebuah pesan penting yang harus kita perhatikan
adalah bahwa tidak pada tempatnya untuk memaksa sekelompok masyarakat miskin
meninggalkan kegiatan pemanenan suatu sumberdaya atas nama sebuah manfaat
tertentu, semisal eksistensi sumberdaya tersebut, yang hanya bisa dinikmati
oleh sekelompok orangkaya dari kota. Kontroversi tentang ‘keseimbangan’ bisa
berlangsung selamanya karena sebagaimana dikatakan oleh Cunningham (1985) nilai
optimum sebenarnya bergantung pada siapa yang sedang mencoba mengoptimalkan.
Untuk mengakomodasikan aspek-aspek / variabel yang tidak tercakup dalam
konsep MEY, Healey (1984) memperkenalkan
sebuah pendekatan yang dinamakan analisis multiatribut. Pendekatan ini
dikembangkan dengan memandang manfaat maksimum suatu sumberdaya dengan kepuasan
tertinggi yang didapat oleh para penggunanya. Kepuasan tersebut digambarkan
sebagai akumulasi dari berbagai komponen manfaat (atau disebut sebagai atribut)
yang dirasa oleh pengguna dari eksploitasi sumberdaya, misalnya manfaat
eknonomi, manfaat sosial, dsb. Tegasnya, konsep ini menyerahkan penilaian
subjektif atas komponen-komponen manfaat tersebut kepada pengguna. Kepada
pengguna, diberikan keleluasaan untuk memilih suatu tingkat eksploitasi yang
terbaik menurut pandangan mereka dengan catatan bahwa pilihan tersebut tidak
boleh melebihi kapasitas yang dimiliki oleh sumberdaya tersebut. Tingkat
eksploitasi terpilih tersebut kemudian dinamakan OSY (Socially Optimum Yield).
DISKUSI
Adanya perkembangan yang terjadi pada konsep atau model sebagaimana
diilustrasikan di atas sebenarnya hanya merupakan satu penegasan bahwa filosofi
yang berhubungan dengan gejala alam maupun sosial tidaklah statis. Hal ini konsisten dengan apa
yang dapat kita temui dalam literatur. Dalam Anonim (2000), misalnya,
disebutkan bahwa suatu konsep atau model pada dasarnya merupakan konstruksi
antar waktu yang dinamis, yang terbentuk
sebagai hasil akhir dari suatu proses coba-coba (trial-and-error) yang dilakukan oleh individu-individu ataupun
masyarakat. Masih dari sumber yang sama, disebutkan pula bahwa model yang tidak
menghasilkan prediksi yang baik akan tersingkir. Dalam kaitannya dengan
konsep-konsep panen optimum di atas, proses coba-coba itu tergambar jelas
dengan diterapkannya pendekatan biologi pada tahap awal, pendekatan ekonomi
pada periode berikutnya, dan pendekatan sosial komprehensif pada masa sekarang.
Perkembangan tersebut juga menunjukkan bahwa pada saatnya, model yang tidak
dapat memenuhi tuntutan pada jamannya akan tersingkir atau tidak lagi dipakai.
Kalau kita telaah lebih lanjut, kita akan temukan bahwa perkembangan
perubahan yang terjadi pada konsep panen optimum tersebut juga tidak lepas dari
batasan alamiah yang berlaku dan mempengaruhi pengembangan konsep ilmiah pada
umumnya. Di bawah ini adalah beberapa contoh dimana batasan ilmiah telah
berperan membentuk bangun dan proses perubahan dari konsep tersebut.
Pada ketiga konsep yang telah berhasil
dikembangkan sejauh ini, tingkat pemanenan atau penangkapan ikan selalu
didasari asumsi keterbatasan kapasitas alamiah dari sumberdaya yang dikelola.
Penjelasan terhadap hal ini adalah bahwa pengembangan suatu konsep atau model
pada suatu masa tidak terlepas dari pemahaman ilmiah manusia pada masa itu
(Anonim, 2000). Hingga saat ini, faham Malthusian (lihat Rees, 1990), dimana
sumberdaya alam diyakini memiliki batas tertentu, masih menjadi acuan utama
dalam manajemen sumberdaya alam.
Karenanya masyarakat perikanan pun mau tidak mau harus mengembangkan
ketiga konsep di atas dengan dibatasi oleh kaidah yang mereka yakini kebenarannya
tersebut.
Selanjutnya, kita lihat dari deskripsi
tentang ketiga konsep di atas, para penggagas memasukkan
pertimbangan-pertimbangan baru kedalam konsep yang mereka kembangkan di masa
kemudian. Faktor sosial, yang diabaikan pada konsep sebelumnya dan yang
berpotensi pada bencana, dimasukkan sebagai komponen penting dalam konsep yang
mereka kembangkan kemudian. Hal ini tidak lain merupakan manifestasi dari
prinsip kehati-hatian, sebagaimana banyak dianjurkan di dalam literatur.
Campbell (1978), misalnya, menekankan bahwa pengembangan konsep baru sedapat
mungkin harus membertimbangkan wisdom
yang dapat dipelajari dari penerapan konsep yang didasari atas situasi di masa
lalu. Dikatakannya lebih lanjut, suatu model yang menggantungkan teknik
ekstrapolasi secara ceroboh dari masa lalu ke masa sekarang memang lebih sering
mengakibatkan bencana daripada manfaat.
Pada bagian lain, kita lihat bahwa
penilaian subjektif dari para pengguna sumberdaya (resource stakeholders) dimasukkan kedalam konsep yang dikembangkan
akhir-akhir ini. Hal ini merupakan cerminan dari apa yang diingatkan oleh
Heylighen (1991) dan Turchin (1991). Heylighen mengatakan bahwa batasan alamiah
cenderung membesar dari waktu ke waktu sehingga konsep-konsep yang menyangkut
pemanfaatan sumberdaya alam akan mengarah pada diberlakukannya tingkat kontrol
yang lebih besar, mengikuti membesarnya derajat batasan alamiah. Di lain pihak,
(Turchin, 1991) menunjukkan bahwa pada saatnya batasan-batasan alamiah semakin
besar dan pada saat itu barangkali manusia akan mendapatkan kebebasan untuk
menentukan pilihan kontrol terbaik, mengikuti penilaian manusiawi mereka.
Pemasukan penilaian subjektif adalah contoh operasional dari kebebasan
dimaksud.
KESIMPULAN
Pesan apa yang dapat kita petik dari
diskusi di atas? Bagi penulis, gejala yang terjadi pada perubahan konsep ilmiah
sebagaimana diilustrasikan di atas hanyalah sebuah refleksi dari kaidah-kaidah
yang memang tidak dapat dipungkiri dalam pengembangan pandangan, konsep,
ataupun aspek keilmiahan lain pada umumnya. Namun begitu, penulis melihat
paling tidak ada satu pesan penting dari diskusi di atas: Pemahaman tentang
dinamika makna kebenaran ilmiah sebagaimana dicontohkan di atas seharusnya
dapat memotivasi ilmuwan untuk selalu terbuka terhadap masuknya unsur-unsur
baru yang mengarah pada pencapaian kebenaran ilmiah yang hakiki.
PUSTAKA
Brown, B. 1995. In Timber Country: Working People’s
Stories of Environmental Conflict and Urban Flight.
Campbell, D.T. 1979. Comments on the
sociology of ethics and moralizing. Behavioral Science,
Charles, A. T. 1994. Toward sustainability: the fishery
experience. Ecological Economics no. 11: 201-211.
Christy, F. 1977. The Fishery Conservation and management
act of 1976: management activities and the distribution of benefits and costs.
Christy, F. 1973. Alternative arrangements for marine
fisheries: An overview. Resources for the Future, Inc.
Copes, P. 1981. Rational resource management and institutional constraints: the case of
the fishery. In J. A. Butlin (ed). Economics and Resource Policy.
Longman,
Crutchfield, J.A. 1975. An economic
view of optimum sustainable yield. In
P.M. Roedel (ed.), Optimum
sustainable yield as a concept in fisheries management. American Fisheries Society Special
Publication, no.
Cunningham, S., M.R. Dunn, and D.W. Whitmarsh. 1985.
Fisheries Economics: An Introduction. Mansel Publications,
Eisgruber, L. M. 1993. Sustainable development, ethics,
and the endangered species Act. Choices,
3rd quarter: 11-16.
Healey, M.C. 1984. Multiattribute
analysis and the concept of optimal yield. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 41:
1393-1406.
Heylighen, F. 1991. Evolutionary
fondations for metaphysics, epistemology, and ethics. In F. Heylighen (ed.).
Principia Cybernetica,
Pollnac, R.B., and S.J. Littlefield. 1983. Sociocultural
aspects of fisheries management. Ocean Development and
International Law Journal no. 12:
209-246
Rees, W. 1990. Natural
resources: Allocation, Economics and Policy. Routledge,
Roedel, P.M. 1975. A summary and critique of the symposium
on optimum yield. In
P.M. Roedel (ed.), Optimum Sustainable Yield as a Concept in Fisheries
Management, 79-89. American
Fisheries Society Publications.
9. Allen Press Inc.,
Schaefer, M.B. 1954. Some aspects of
the dynamics of populations important to the management of the commercial
marine fisheries. Inter-America Tuna commission.
La
Sears, P.B. 1965. Aesthetic, ethics,
and resource conservation. In
Turchin, V. 1991. Cybernetic and Philosophy. In F. Geyer (ed.). Proc. Of Cybernetics and Systems. Intersystems,