Re-edited
Copyright
© 2000 Diana Hermawati
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana
Institut
Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
PENETAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEAMANAN PRODUK PETERNAKAN
MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS MELALUI METODA ILMIAH DAN PENDEKATAN
ILMU INTERDISIPLIN
Oleh:
A. Latar
Belakang
Sejak beberapa abad yang lalu manusia telah memanfaatkan
produk peternakan, daging, hati, telur, susu dan hasil olahannya sebagai salah
satu bahan pangan yang mengandung protein ( Afrianto dan Liviawaty, 1994 ).
Pangan selalu melibatkan semua manusia pada setiap
kehidupan. Setiap pangan dianggap baik, bila dapat memilih dan menimbang
hal-hal yang kita harapkan, senangi dan yakini terhadap keamanan, kemurnian dan
higienisnya ( Winarno, 1993).
Dalam memenuhi
kebutuhan akan pangan yang baik, aman dan dapat diterima serta bergizi, tidak
setiap orang mampu menilai sendiri aspek-aspek tersebut. Menilai apakah suatu
bahan pangan itu aman dan baik adalah suatu yang kompleks dan sulit, memerlukan
banyak pengetahuan dan peralatan yang diperlukan ( Winarno, 1993 ).
Dalam pengujian mutu suatu bahan pangan diperlukan
berbagai uji yang mencakup uji fisik, uji organoleptik, uji kimia dan uji
mikrobiologi. Uji mikrobiologi merupakan salah satu uji yang penting
dan dapat digunakan sebagai indikator sanitasi makanan atau keamanan pangan.
Disamping uji mikrobiologi diperlukan juga uji residu untuk mengetahui ada
tidaknya akumulasi/residu bahan kimia seperti obat-obatan atau bahan kimia
lainnya didalam produk-produk peternakan yang dapat membahayakan konsumen
(Fardiaz, 1993; Hermawati, 1999 b).
Berbagai macam uji mikrobiologi dapat dilakukan
terhadap bahan pangan, meliputi uji
kualitatif mikroba untuk menentukan mutu dan daya tahan suatu makanan dan uji
bakteri indikator untuk menentukan tingkat sanitasi makanan tersebut ( Gaman
dan Sherrington, 1992).
Untuk memenuhi kebutuhan daging dimasyarakat, pemerintah
telah mengimpor daging, hati dan jeroan sapi serta daging ayam bagian paha
bawah, leher dan bagian-bagian lainnya yang dinegeri asalnya kurang disukai
(tidak dikonumsi). Dampak dari produk
peternakan impor adalah keamanan bahan pangan tersebut apakah layak
untuk dikonsumsi. (Bahri dkk, 1999).
Pemerintah seharusnya sudah mengharuskan pada importir
agar produk-produk tersebut sebelum diedarkan kepasaran harus diuji terlebih
dahulu agar konsumen dapat terlingdungi dari bahaya yang dapat
ditimbulkan/dibawa melalui makanan tersebut. Sebaliknya produk-produk indonesia
yang akan diekspor keluar negeri diperlakukan sangat ketat artinya produk
tersebut sebelum diberangkatkan harus memenuhi persyaratan keamanan pangan dan
setelah melalui pengujian terhadap jenis pengujian yang dipersyaratkan oleh
negara pengimpor. (Hermawati, 1999 b).
Di Indonesia sendiri dengan banyaknya
obat-obatan yang digunakan pada ternak baik sebagai pengobatan, pencegahan
penyakit maupun sebagai pemacu pertumbuhan mempunyai peranan terjadinya residu obat-obatan/bahan kimia dalam
produk-produk peternakan karena sangat sedikit peternak yang mau
memperhatikan waktu henti obat.
(Hermawati, 1997 a).
Menurut Akoso
(2000) kriteria keamanan pangan asal produk peternakan meliputi: a) Aman dari
mikroorganisme (cemaran mikroba); b) Aman dari kontaminasi dari bahan kimia
berbahaya (residu); c) Aman dari komposisi gizi (memenuhi standar gizi); d)
Aman dari kaidah agama (memenuhi persyaratan halal).
Dalam rangka
melindungi kesehatan konsumen terhadap adanya residu dan cemaran mikroba dalam
bahan makanan asal hewan, mendukung pertumbuhan agro industri dan ekspor hasil
peternakan pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan : (1)
Undang-undang No 6 tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan, PP No.22 tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Undang-undang Republik Indonesia No.7
tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Republik Indinesia No.8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Hermawati, 1997 a).
Saat ini dirasakan perlu upaya pemberdayaan konsumen
malalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen
secara intergratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif
dimasyarakat sehingga perangkat
peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan
pelaksanaan usaha dapat tercipta perekonomian yang sehat. (Hermawati, 2000 f)
Dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan dan
pendapatan masyarakat tentunya
masyarakat semakin kritis dalam memilih produk, mereka tidak akan lagi
sembarangan mengkonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan, karena itu pengusaha
yang tidak menjaga kualitas produknya, otomatis produk tersebut tidak laku
dipasaran. Sebab hanya produk yang benar-benar bebas dari cemaran mikroba dan
residu obat yang akan dipilih masyarakat untuk dikonsumi. Selain itu
masyarakat juga tidak akan tinggal diam,
jika produk yang dikonsumsi ternyata
membahayakan kesehatannya, mereka dapat menuntut kepengadilan terhadap
perusahaan yang memperoduksi produk tersebut. Bahaya-bahaya atau gangguan
kesehatan yang dapat ditimbulkan sebagai akibat mengkonsumsi produk peternakan
yang mengandung residu obat dan cemaran mikroba adalah (1) reaksi
hipersensitivitas; (2) takhikardia dan tremor; (3) teratogenik; (4)
karsinogenij; (5) efek mutagenik; (6) resistensi dari mikroorganisme; (7) keracunan; (8) diare; (9) typhus dan
paratypus dan lain-lain (Hermawati, 2000 e).
Untuk menghadapi era perdagangan bebas diawal tahun 2003
(AFTA) untuk lingkup Asean dan lingkup Internasional tahun 2010 (APEC),
Indonesia sudah seharusnya mempersiapkan diri dalam meningkatkan kualitas
bahan-bahan makanan asal produk peternakan karena apabila tidak berhasil
meningkatkan kualitas, maka indonesia akan kemasukan bahan-bahan makanan asal
produk peternakan dari luar negeri yang mengandung residu dan cemaran mikroba
(Hermawati, 1999 c).
Menurut Hemawati (2000 d) kesadaran peternak atau
industri peternakan untuk melakukan pengujian produk sebelum dipasaran masih
rendah. Hal ini disebabkan karena pemerintah belum membuat kebijakan kepada
produsen dan importir yang mengharuskan mengujikan poduknya sebelum diedarkan.
1. Indonesia telah menjadi anggota World Trade
Organization (WTO) sehingga terkait dengan perjanjian yang besifat
multilateral. Dengan demikian Indonesia harus benar-benar siap menghadapi era
perdagangan bebas untuk merebut pasar yang akan diwarnai dengan persaingan
ketat.
2. Kesadaran dan tuntutan konsumen akan produk peternakan
dan olahannya yang aman, sehat dan utuh
semakin meningkat.
3. lalu lintas ekspor impor hewan, produk peternakan dan
olahannya meningkat dalam jumlah dan frekwensi sehingga memungkinkan masuknya
atau timbulnya penyakit eksotik, foodborne diseases dan zoonosis.
4. Penerapan sistem mutu dan keamanan pangan (ISO, HACCP)
dari badan-badan internasional (ISO, Codex Alimentarius Commission) oleh beberapa
negara dalam usaha pertanian/peternakan serta industri hasil-hasil pertanian/peternakan untuk dapat tetap
memiliki keunggulan kompetitip dalam
perdagangan bebas yang ketat.
5. Perkembangan industri yang pesat dikota-kota di
Indonesia membawa dampak masalah
keamanan dan kualitas bahan pangan asal produk peternakan serta masalah
sanitasi lingkungan.
C. T U J U A N
Tujuan pelaksanaan pengujian mutu
produk peternakan kaitannya dengan keamanan pangan adalah :
1. menyediakan produk-produk
peternakan dan olahannya yang aman, sehat, utuh dan
halal (food safety and quality program) yang dapat mencukupi kebutuhan (food security program).
2.
Menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahtraan manusia serta ketentraman
batin masyarakat terhadap penyakit zoonosis, pemalsuan dan kehalalan produk
pangan hewani.
3. Memberikan kontribusi terhadap kebijakan peternakan
secara nasional dalam bidang keamanan produk peternakan.
D. P E L U
A N G
Keberhasilan pemerintah dalam
mengamankan mutu produk peternakan akan memberi peluang pada sektor agribisnis
dalam mengekspor produk-produk peternakan ke manca negara untuk dapat bersaing
dengan produk peternakan yang berasal dari luar serta melindungi produk-produk peternakan lokal.
E.
M A N F A A T
Manfaat yang ingin dicapai adalah :
1.
Dapat mengatasi permasalahan keamanan pangan melalui
pendekatan ilmu inter disiplin sehingga permasalahan tersebut dapat diatasi secara
komplek dari berbagai sudut pandang sehingga dapat memberi masukan
kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
2.
Dapat digunakan
sebagai acuan untuk meningkatkan mutu produk peternakan agar dapat bersaing
dipasar bebas.
Masalah yang paling penting adalah
masyarakat belum sepenuhnya sadar bahwa
produk-produk peternakan yang dikonsumsi tidak semuanya aman dari cemaran
residu dan mikroba. Hal ini terlihat dari hasil pengujian Loka Pengujian Mutu
produk Peternakan sejak tahun 1997 dan kasus yang lain seperti kasus dioksin,
penyakit antrax, sapi gila dan lain produsen, importir maupun eksportir belum
merasa penting untuk mengujikan produknya sebagai jaminan keamanan. Disamping
itu pemerintah belum membuat kebijakan yang mengharuskan produsen, importir
maupun eksportir mewajibkan melakukan pengujian mutu produk sebelum diedarkan dalam melindungi konsumen pemerintah
seharusnya sudah mengimplementasikan Undang-undang Perlindungan Konsumen
No. 8 Tahun 1999.
Di era perdagangan bebas pengujian mutu produk peternakan
sudah merupakan keharusan bagi produsen, importir maupun eksportir untuk
melindungi konsumen luar maupun dalam negeri. Pemerintah sudah saatnya
mempunyai kebijaksanaan mengharuskan produsen
mencantumkan label “ BEBAS
RESIDU/ BAHAN KIMIA DAN MIKROBA “ pada produknya seperti pencantuman label “ HALAL PADA PRODUK PANGAN LAINNYA “.
Gambar 1. Memperlihatkan hubungan antara residu dan
cemaran mikroba dengan kesehatan
masyarakat.
Gambar 2. Memperlihatakan bagaimana suatu kebenaran
pengujian mutu produk peternakan
dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan oleh pemerintah dalam
mengantisipasi pasar bebas, perlindungan konsumen dan pembinaan kepada
produsen, importir dan eksportir sebagai pelaku agri bisnis dalam rangka menghasilkan
atau mengedarkan produk-produk yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi.
Proses kajian
ilmiah dimulai dengan adanya fakta dilapangan yang muncul dimasyarakat bahwa didalam proses budidaya peternakan telah digunakan bermacam-macam obat-obatan atau bahan kimia
seperti antibiotika, pestisida dan hormon dan isu pemalsuan daging sapi yang berasal dari daging babi, kasus dioksin serta cemaran
bakteri-bakteri pengganggu kesehatan masyarakat yang dibawa melalui makanan seperti bakteri salmonella
penyebab typhus dan paratyphus, E.Coli penyebab disentri, bakteri Camphylobakter dan listeria penyebab enteritis dan lain-lain. Pangan asal ternak
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan tidak
hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian (seperti kasus anthrax) tetapi juga dapat
mempengauhi pertumbuhan fisik dan inteligensia
(seperti kasus Mad Cow). Untuk membuktikan
adanya suatu kontaminasi seperti tersebut diatas diperlukan suatu pengujian yang didasari pada metoda yang benar, mempunyai spesitivitas dan sensitivitas yang tinggi dan melibatkan kelompok ilmiah dan interdisiplin. Membuat metoda yang mempunyai spesitivitas dan sensitivitas memerlukan
suatu rangkaian proses kajian ilmiah
agar metoda tersebut dapat valid dan dapat diterima disemua negara.
Berdasarkan hasil
pengujian terhadap cemaran obat dan
bahan kimia lainnya serta cemaran
mikroba yang dilakukan oleh Loka Pengujian Mutu Produk Peternakan Bogor yang
mempunyai wilayah kerja nasional sejak tahun 1997-2000 ternyata produk-produk peternakan yang beredar di Indonesia mengandung residu diatas Batas Maksimum Residu Standar Nasional Indonesia
(BMR-SNI) berkisar 40-60% sedangkan
hasil pengujian terhadap adanya kontaminasi mikroba berkisar 30-35 %
diatas Batas Maksimum Cemaran Mikroba Standar Nasional Indonesia
(BMCM-SNI). Sesungguhnya selain
kebutuhan kuantitatif terhadap kebutuhan kebutuhan daging, telur dan susu,
masyarakat luas juga telah semakin
sadar akan pentingnya pangan asal ternak yang berkualitas yang menyangkut aspek gizi dan
kesehatan dalam arti produk tersebut aman, bebas dari
cemaran mikroba, bahan kimia atau
cemaran yang dapat mengganggu ketentraman batin. Oleh karena itu isu keamanan pangan asal hewan merupakan isu strategis yang
perlu mendapat perhatian kita semua, produsen, importir, eksportir, konsumen
dan pemegang kebijakan.
Melihat kenyataan/fakta lapangan kasus-kasus penyakit dan
data hasil pengujian sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan tentang perlunya
pengujian terhadap produk-produk peternakan agar pada saat era
perdagangan bebas produk-produk Indonesia mampu bersaing dengan produk luar
negeri. Produk-produk luar yang tidak terjamin keamanannya dapat ditolak diedarkan diwilayah Indonesia dalam rangka
melindungi kesehatan masyarakat dan melindungi produk lokal yang telah terjamin
keamanannya.
Untuk mendapatkan bahan pangan asal ternak dengan mutu
yang baik dan aman perlu diketahui mata rantai dalam penyediaan pangan (daging,
telur dan susu) tersebut mulai dari farm/peternak sampai transportasi yang
digolongkan sebagai pre-havest food safety program, yang dilanjutkan dengan poses
pemotongan dirumah potong hewan (RPH) , pengolahan, pemasaran dan penyajian
kepada konsumen atau pre-havest food safety program.
Selanjutnya secara lebih rinci tindakan yang dilakukan pada setiap mata rantai
dalam penyediaan pangan asal ternak (daging, telu dan susu) perlu diketahui
sehingga nantinya dapat diantipasi tindakan-tindakan pengawasannya.
Rantai penyediaan pangan berupa daging sedikit berbeda
dengan rantai penyediaan pangan berupa telur maupun pangan berupa susu yang
masing-masing digambarkan pada
gambar 3-5.
Pre-harvest
food safety program
Post-harvest food safety program
Prosesor (RPH) Produsen (peternak/ farm) Pengecer
Distributor
Transpor
Konsumen
Gambar : 3. Garis besar rantai penyediaan
daging.
Pre-harvest food safety program Post-harvest food safety
program
Gambar : 4. Garis besar rantai penyediaan
telur.
Pre-harvest
food safety program Post-harvest food safety
program
Gambar : 5. Garis besar rantai penyediaan
susu.
Gambar : 3. Menjelaskan
tentang rantai penyediaan daging, mulai dari farm sampai kepada konsumen
menurut Food
Animal Production Medicine Consortium (1993) dengan
sedikit modifikasi.
Proses Pra-produksi
(Pre-harvest food safety program)
Pada proses
pra-produksi yang dimulai dari farm/peternak atau produsen terdapat
berbagai faktor yang dapat menentukan kualitas akhir dari produk ternak
tersebut. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan
pada tahap pra-produksi anatara lain :
a.
Lingkungan dimana ternak dipelihara
meliputi keadaan tanahnya dan air yang digunakan, udara sekitar peternak serta
sanitasi.
b.
Pakan atau bahan pakan yang digunakan
c.
Tenaga kerja yang terlibat,
menyangkut kesehatan dan tanggung jawab
d.
Bahan kimia yang dipergunakan, seperti
pestisida, desinfektan dan lain-lain
e. Obat-obat hewan
yang dipergunakan
f.
Keberadaan dan keadaan hewan lainnya
dan tanaman liar
g. Status penyakit
hewan menular termasuk penyakit zoonosis
h. Sistem manajemen
yang diterapkan
Faktor-faktor
tesebut sangat menentukan dalam menghasilkan produk asal ternak yang bermutu
dan aman untuk konsumsi manusia. Apabila faktor-faktor tersebut dapat dikontrol
dengan baik sehingga tidak merugikan pertumbuhan dan kesehatan ternak yang
dipelihara, maka dengan sendirinya akan memberikan dampak positif atau nilai
tambah karena :
a.
Produk ternak lebih terjamin
keamanannya.
b.
Konsumen lebih terjamin dan lebih
percaya terhadap mutu daging yang dihasilkan.
c.
Konsumen akan membeli dengan harga yang
lebih tinggi.
d.
Produk asal ternak yang berupa daging
dapat bersaing di pasar internasional ditinjau dari asfek mutu dan keamanannya.
e.
Cemaran mikroba dan bahan kimia dapat
dikurangi.
f.
Meningkatkan kesehatan dan kesejahtraan
hewan atau ternak.
g.
Hewani atau ternak tumbuh lebih cepat
dan dapat dijual lebih cepat.
h.
Dapat mengurangi jumlah atau bagian
produk ternak yang ditolak atau dimusnahkan pada waktu prosesing sehingga
menambah keuntungan.
i.
Dapat mengurangi dan mencegah penyakit
yang menular kemanusia sehingga mengurangi biaya kesehatan masyarakat baik
secara individu maupun nasional.
Proses
Pasca Produksi (Post-harvest food safety program)
1.
Daging Sapi
Sebelum dipasarkan ternak perlu vaksinasi dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium secara intensif mengenai kesehatan ternak, terutama
pemeriksaan telur cacing dan monitoring titer antibodi.
Setelah ternak siap untuk dipasarkan atau dipanen dagingnya, maka ternak tersebut
selanjutnya akan menjalani proses transportasi dari peternak atau farm untuk
sampai dirumah pemotongan hewan. Beberapa tahapan
kegiatan yang perlu dilakukan pada proses pasca produksi
daging, antara lain:
a.
Pemeriksaan ante mortem, pada masa
pemulihan kondisi atau masa stirahat minimal 12 jam sebelum dipotong.
b.
Proses pemotongan atau penyembelihan
yang dilakukan menurut tata cara islam sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.
c.
Proses pelepasan kulit, pengeluaran
jeroan, pembelahan karkas yang diikuti dengan pemeriksaan post mortem terhadap
daging dan bagian-bagian lainnya secara utuh yang dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium bila diperlukan.
d.
Kemudian daging dilayukan dengan
meniriskannya selama 8 jam.
Setelah
pelayuan dan penirisan selesai, maka dilanjutkan dengan dua alternatif tahapan
kegiatan yaitu :
1.
Proses pengangkutan karkas dengan
kendaraan yang memenuhi persyaratan, dilanjutkan dengan peredaran atau
peanjutan daging ditempat yang memenuhi syarat dan telah ditentukan dan
akhirnya sampai kepada konsumen.
2.
Proses pelepasan tulang (deboning) yang
dilanjutkan dengan pengepakan daging, pendinginan dilanjutkan dengan
pengangkutan mempergunakan kendaraan yang memenuhi syarat dan akhir daging
diedarkan atau dipasarkan pada konsumen ditempat yang memnuhi syarat dan telah
ditentukan.
Apabila
setiap tahapan kegiatan dalam proses pasca produksi daging tersebut dilakukan
secara terkontrol sehingga persyaratan yang ditentukan selalu terpenuhi, maka
sudah dapat dipastikan akan diperoleh daging yang bermutu baik dan aman untuk
dikonsumsi.
2. S u s u.
Untuk memperoleh produk susu yang baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap kesehatan ternak dan juga kesehatan lingkungannya. Penanganan yang
perlu diperhatikan pada pasca produksi susu ini perlu diperhatikan terutama
pada saat transportasi, pengumpulan susu yang higienis dengan melakukan uji
mutu susu dengan pengukuran berat jenis susu serta total kandungan protein dan
lemak.
3. Daging Ayam
Perlu dilakukan program vaksinasi ND sebelum ayam
dipasarkan.
4. Telur Ayam
Penggunaan obat perlu diperhatikan dan harus digunakan secara
rasional. Selain itu, pakan yang diberikan harus bebas kontaminan bahan toksis
(residu pestisida, logam berat, mikotoksin) serta bahan-bahan toksin lainnya.
Dari bagan alir tersebut dapat ditentukan titik-titik
kritis dari tiap-tiap mata rantai proses produksi. Juga dapat ditentukan resiko
potensial yang diperkirakan akan terjadi pada tahap-tahap kritis tersebut.
Dengan demikian tindakan pengawasan juga dapat ditetapkan untuk menanggulangi atau memperkecil terjadinya
bahaya. Selanjutnya ditentukan prosedur atau langkah-langkah pengawasan dan
pencegahan agar tindak pengawasan dapat berjalan dengan efektif.
Berdasarkan langkah-langkah yang harus diterapkan pada
konsep HACCP, maka proses selanjutnya adalah penetapan limit kritis seperti
pada langkah kedelapan, yang selanjutnya hingga langkah terakhir. Konsep HACCP
ini juga diterapkan untuk mendapatkan susu dan telur yang aman.
5. Pengamanan dengan fokus pada proses pra-produksi
Oleh karena keamanan pangan dimulai pada saat ternak dipelihar
ditingkat peternak/farm, maka keamanan dan kualitas ternak dan hasilnya
(produknya) sangat tergantung pada keamanan dari pakan dan sumber-sumber pakan,
air dan lingkungan sekitar ternak tersebut.
Bila pada proses pemeliharaan ini penyakit-penyakit
ternak dapat dikontrol dengan baik secara biologik dengan menghindari
penggunaaan bahan-bahan kimia/obat-obatan berbahaya secara berlebihan. Kemudian
makanannya juga terkontrol, yaitu bebas dari cemaran mikroba, kimia dan
bahan-bahan lannya. Demikian juga dengan sumber air yang digunakan terkontrol
bebas dari logam-logam berat berbahaya
maupun mikrooganisme patogen. Petugas farm atau personal sebaiknya dibatasi,
tidak setiap orang boleh keluar masuk farm setiap saat. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari stres pada ternak, juga mencegah penularan /kontaminasi
penyakit dari petugas farm. Sedangkan lingkungan termasuk tanah lokasi setempat
telah diketahui bukan merupakan daearah wabah penyakit tertentu, maka keadaan
yang demikian akan menjamin keamanan dari ternak maupun produk ternak yang
dihasilkan.
Penetapan
kebijakan pengamanan pangan produk-produk peternakan dengan malalui pengujian
mutu terlebih dahulu dapat dilakukan oleh Departemen Pertanian. Di dalam
menetapkan kebijakannnya dapat terkait interdisiplin lain seperti Departemen
Kesehatan (Aspek Kesehatan Masyarakat); Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(Aspek perlindungan konsumen); Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Aspek
Produksi dan lalulintas Produk keluar dan kedalam Negeri); Kejaksaan (Aspek
Hukum seperti peraturan pemerintah dan Undang-undang).
Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan, terlihat
bahwa keamanan pangan menjadi isu yang strategi pada perdagangan bebas dewasa
ini karena menyangkut aspek komersial (perdagangan domestik dan global) dan
aspek kesehatan manusia. Dampak dan ketidak amanan produk asal ternak akan
mengakibatkan kerugian ekonomi (perdagangan terhambat), gangguan kesehatan
manusia, dan aspek sosial politik yang luas. Dengan demikian keamanan pangan
ternak merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi pada abad ke 21
ini. Untuk mendapatkan pangan asal ternak yang aman maka disetiap mata rantai
penyediaan pangan asal ternak harus diterapkan sistem jaminan mutu, yaitu
GAP/GHP (Good Handling Practices), GMP
(Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan GRP (Good
Retailing Practices) dengan melibatkan
kelompok ilmu interdisiplin. Kelompok interdisiplin tersebut meliputi :
Peternakan, Kedokteran Hewan, Kesehatan, Kejaksaan, Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia, Perdagangan dan
Perindustrian.
Akoso, B.T. 2000. Perlindungan
Masyaakat Veteriner dan Pengembangan Produk Hewan. In Rapat Koordinasi
dan Konsultasi Penyususnan Program Proyek
T.A. 2000, Jakarta.
Bahri, S., Indaningsih., R.Widiastutu., T.B.Murdiati, dan
R.Marjan.1999. Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu tantangan di era Perdagangan Bebas. In
Seminar Nasional Teknologi Veteriner, Jakarta.
Gaman,
P.M. dan K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan,
Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada University
Pres, Yogyakarta.
Hermawati, D.1997 a. Residu
Antibiotika Dalam Ayam Pedaging yang Diberi Dosis Pengobatan Spiramisin. In
Tesis Magister Sains pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
___________. 1999 b. Awas Bahaya
Residu. Majalah Berkala Agribisnis Peternakan Volume 02/1999, Edisi
Juli-Agustus-September.
___________. 1999
c. Membantu Produsen Mengamankan Konsumen. Majalah Berkala Agribisnis
Peternakan Volume 03/1999, Edisi Oktober-Nopember-Desember.
___________. 2000
d. Untuk Menjamin Keamaman Pangan Manfaatkan Loka Pengujian Mutu Produk
Peternakan. Majalah Invofet Edisi 068
Maret 2000.
___________. 2000
e. Dunia Peternakan Perlu Promosi dan Uji Mutu Produk. Majalah Invofet Edisi
069 April 2000.
___________. 2000
f. Uji Mutu Produk Peternakan akan Menjadi Kebutuhan, Majalah Invofet Edisi
077 Desember 2000.
Winarno, F.D. 1993. Pangan Gizi,
Teknologi dan Konsumen, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,