PEMBANGUNAN
PARTISIPATORIS
DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(PARTICIPATORY
ACTIONS PROGRAM IN WATERSHED DEVELOPMENT)
oleh
Apik Karyana
(P23600002/DAS)
akaryana@yahoo.com
Pengertian DAS yang banyak dikenal pada bidang
kehutanan, adalah wilayah/daerah yang dibatasi oleh topografi alami yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga semua
air yang jatuh pada daerah tersebut akan keluar
dari satu sungai utama. Sedangkan
pengelolaan DAS diartikan sebagai upaya manusia
di dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara
sumber daya alam dengan manusia
dan segala aktifitasnya sehingga terjadi keserasian ekosistem serta dapat meningkatkan kemanfaatan bagi manusia..
Tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) pada dasarnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan (sustainable) sehingga
tidak membahayakan lingkungan lokal, regional, nasional dan bahkan
global. Tujuan ini sangat mulia
dan harus didukung oleh seluruh
umat manusia. Oleh karena itu
masalahnya bukanlah pada tujuan pengelolaan
DAS, tetapi bagaimana cara mencapai
tujuan tersebut.
Kenyataan menunjukkan
bahwa kalau dipertanyakan “apakah yang dimaksud dengan partisipasi ?”.
Jawabanya bisa tidak menentu.
Istilah-istilah lain yang merupakan sinonim
partisipasi adalah “keikutsertaan, keterlibatan atau peran serta”.
Gordon W. Apport dalam bukunya yang berjudul The
Psychology of Participation (1945), dalam Sastropoetro (1988) menyatakan :
“ The person who participates is ego-involved instead of
merely tasks involved”
Pendapat ini dapat diterjemahkan dengan kalimat sebagai
berikut:
“Bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami
keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dirinya
dalam pekerjaan atau tugas saja. Artinya keterlibatan dirinya termasuk
keterlibatan pikiran dan perasaannya”.
Ilmuwan Keith Davis dalam bukunya yang berjudul The
Human Relation of Work (1962) mengemukakan sebagai berikut:
“ Participation can be defined as mental and emotional involvement of
a person in group situation which encourages to contribute to group goals and
share responsibility in them”.
Di dalam definisi
di atas terdapat
tiga gagasan yang penting, yaitu : (a) bahwa dalam partisipasi
bukan semata-mata keterlibatan secara jasmaniah, tetapi juga keterlibatan mental dan perasaan, (b) adanya kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok dan (c) adanya
unsur tanggung jawab.
Dari
berbagai pengalaman proyek-proyek pengelolaan DAS, ada indikasi bahwa
“partisipasi” hanya menjadi slogan tanpa makna yang nyata. Partisipasi yang asli harus
datang dari inisiatif masyarakat sendiri. Partisipasi seperti itu merupakan partisipasi sejati yang bersifat swakarsa dan interaktif,
bukan bersifat artificial atau semu. Tuntuan dasar untuk menempatkan azas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS akhirnya menjadi prioritas.
Bryant (1982) merumuskan partisipasi sebagai fungsi dari manfaat (benefit) yang akan
diperoleh, dikalikan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability),
dikurangi dengan dua jenis biaya
(cost), yaitu biaya langsung (direct cost) dan
biaya oportunitas (opportunity
cost). Semuanya dikalikan dengan besarnya risiko (risks)
yang sanggup ditanggung. Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut:
P = í ( B X Pr) – (DC + OC)ý R
Dimana :
P = Participation
B =
Benefit
Pr =
Probability
DC =
Direct Cost
OC =
R =
Risks
Untuk mengkaji lebih jauh bagaimana mengelola partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan kajian yang mendalam berkaitan dengan kharakteristik DAS (biofisik), Kharakteristik aturan main (kelembagaan) dan kharakteristik masyarakat (Sosial ekonomi dan kebudayaan).
Historis
Konsep pengelolaan DAS di
Indonesia sebenarnya telah dikenalkan sejak jaman Belanda, khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-pembagian
daerah hutan diatur berdasarkan satuan DAS. Pada tahun
1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk
Pekan Penghijauan I di Gunung Mas,
Puncak Bogor.
Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba
untuk memperoleh metoda yang tepat dalam rangka rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek
fisik maupun sosial ekonomi di DAS Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara
lain diterapkan dalam proyek Inpres
Penghijauan dan Reboisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di
Upaya pengelolaan DAS terpadu
yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin
dilakukan. Selanjutnya pengelolaan DAS terpadu dikembangkan di DAS Brantas, Jratun Seluna. Namun proyek-proyek pengelolaan DAS saat itu lebih menekankan
pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah
erosi dan bajir yang hampir seluruhnya dibiayai oleh dana
pemerintah. Baru tahun 1994 konsep
partisipasi mulai diterapkan dalam penyelengaraan Inpres Penghijauan dan Reboisasi, walaupun dalam tarap perencanaan.
Meskipun upaya-upaya pengelolaan
DAS di Indonesia telah cukup lama dilaksanakan, namun karena kompleksitas
masalah yang dihadapi hasilnya belum mencapai yang diinginkan, terutama yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagan masyarakat.
Fakta dan
Permasalahan
Fakta
Di Indonesia,
berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Planologi, Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, laju kerusakan hutannya hampir mencapai 1,6 juta ha
per tahun. Laju angka kerusakan ini
mengalami peningkatan 3 kali lipat selama kurun waktu 6 tahun.
Tingginya angka laju
pengundulan hutan ini terutama disebabkan karena kejadian kebakaran hutan rutin
yang melanda hutan-hutan di kawasan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua. FAO (1985) melaporkan bahwa
kerusakan hutan di Indonesia menempati urutan tertinggi dibandingkan
negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Jika proses degradasi
lahan ini terus berlangsung tanpa upaya yang nyata untuk menghentikannya,
produktivitas pertanian akan mengalami penurunan sebesar 15-30 % sampai dengan
tahun 2003.
Permasalahan utama dalam pembangunan pengelolaan DAS
adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya sistem perencanaan yang komprehensif.
Gejala umum yang timbuk dari kondisi di atas antara lain: (1) masyarakat dalam
DAS masih ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek pembangunan (2) manfaat
pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu dan belum
terdistribusi secara merata (3) masyarakat belum mampu untuk berpartisipasi
secara nyata dalam proses pembangunan
(4) masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari
ekosistem DAS.
Agar mencapai hasil-hasil pembangunan yang berkelanjutan,
banyak kalangan sepakat diperlukan pergeseran paradigma di bidang pengelolan
DAS yang bersifat partisipatoris. Pendekatan pembangunan partisipatoris harus
mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan
masyarakat, setempat yaitu masyarakat itu sendiri.
Dalam kontek DAS pendekatan ini memberikan ruang yang
cukup bagi masyarakat untuk menilai dan mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan mereka untuk mengembangkan
diri.
Pendekatan partisipatoris harus disertai perubahan cara
pandang terhadap DAS sebagai sistem hidrologi yang semula merupakan benda fisik
menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial. Perubahan peran pemerintah
dari provider menjadi enabler, tata pemerintahan dari sentralistis
menjadi desentralistis, sistem pembangunan dan pengelolaan dari government
centris menjadi public-private community participation, pelayanan
dari birokratis-normatif menjadi professional-responsif dan fleksibel,
penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up.
Munculnya paradigma pembangunan pengelolaan DAS yang
partisipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif.
Pertama : pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan,
perancangan, perencanan dan pelaksanaan proyek/program pengelolaan DAS yang
akan mewarnai kehidupan mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi, pola
sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan lokal ikut
dipertimbangkan secara penuh.
Kedua: adanya umpan balik (feed back) yang pada
hakekatnya adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.
Untuk mewujudkan pembangunan pengelolaan DAS yang
partisipatoris dibutuhkan pendekatan partisipasi dalam rangka memobilisasi
peran serta dan meningkatkan keefektifannya. Untuk memperoleh pendekatan yang
partisipatoris diperlukan metoda penelitian yang bersifat partisipatoris pula
(studi eksploratoris).
Metoda partisipatoris berguna untuk menyusun
pertanyaan-pertanyaan kunci dalam merumuskan masalah (Mikkelsen, 1999). Metoda
ini sedikit menyimpang dari pendekatan konvensional dimana para peneliti ahli
yang merumuskan masalah. Dengan metoda partisipatoris, maka dalam merumuskan
masalah, menentukan tujuan prioritas dan tidak lanjut yang diperlukan menjadi
upaya bersama dengan masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait.
Kajian ini diawali dengan serangkaian diskusi tentang
kerangka pemikiran serta arah kajian yang akan dicapai dengan berbagai
stakeholders. Pada tahap ini juga digali berbagai sumber data dan informasi
sekunder yang berkaitan dengan kondisi biofisik DAS, kondisi masyarakat serta
berbagai kebijaksanaan yang telah diberlakukan dalam pengelolaan DAS.
Hasil yang diperoleh pada tahap ini adalah dapat
dirumuskannya :
1.
Kerangka pemikiran dan arah kajian
2.
Kebijaksanan
umum pengelolaan DAS secara hipotetik
Seluruh rangkaian proses ini merupakan proses belajar
bagi semua pihak. Untuk melaksanakan studi eksploratoris diperlukan
teknik-teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik
PRA digunakan untuk memperoleh informasi awal mengenai suatu topik. Gambaran
studi eksploratoris untuk pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gamber di bawah
ini.
Dari hasil kajian preliminer dan penjabaran operasional kerangka pemikiran
menghasilkan permasalahan hipotetik dalam pengelolaan DAS, yaitu :
“ Rendahnya
produktifitas dan semakin menurunnya daya dukung DAS (yang dapat diukur
dari dampak off site maupun on site) – adalah akibat dari
rendahnya partisipasi masyarakat dan stakeholders lainnya. Dengan demikian maka
perubahan perilaku masyarakat merupakan objek dan penurunan sistem alami daya
dukung DAS sebagai subjek.
1.
Tingkat adopsi dan
inovasi masyarakat
2.
Kualitas biofisik DAS
3.
Produktifitas masyarakat
4.
Keberadaan intitusi lokal sebagai social capital
5.
Aksesibilitas dan daya
tangkap
Dalam melaksanakan studi eksploratoris diperlukan
asumsi-asumsi sebagai berikut :
Ø
Partisipasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program pengelolaan DAS, tetapi
merupakan suatu proses dan oleh sebab itu studi hendaknya dipadukan dengan
kegiatan-kegiatan lain dalam program pengelolaan DAS.
Ø
Penyelenggaraan
pengelolaan DAS harus didasarkan pada keberadaan organisasi-organisasi lokal
yang ada
Ø
Partisipasi
dihargai secara pragmatis yaitu pelibatan masyarakat dalam tindakan-tindakan
administratif yang memiliki pengaruh langsung terhadap mereka.
DAFTAR BACAAN
Anomim. 1985. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Terpadu. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Bryant, C. 1982. Manajemen Pembangunan untuk Negara
Berkembang. LP3ES.
Mikkelsen, B. 1999. Metoda Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Katodihardjo, H., Murtilaksono, K.,Pasaribu. H.S., Sudadi, Untung.,
Nuryantono. N. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah.
K3SB. Bogor.
Sastropoetro, S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin
dalam Pembangunan Nasional. Penerbit Alumsi, Bandung.
Keith,
D. 1962. Human Relations at Work. Mc Graw-Hill Book Company Inc.,