Re-edited
Copyright
© 2000 Abdurrani Muin
Makalah Falsafah Sains
(PPs 702)
Program
Pasca Sarjana
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng
PENGGUNAAN
MIKORIZA UNTUK MENUNJANG
PEMBANGUNAN HUTAN PADA LAHAN KRITIS ATAU MARGINAL
Oleh : Abdurrani Muin
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak manfaatnya bagi
kehidupan manusia, tidak saja sebagai penghasil devisa untuk pembangunan, namun
juga berfungsi sebagai paru-paru dunia, pengendalian banjir dan erosi serta
sebagai tempat yang indah dan nyaman
bagi setiap insan yang melakukan rekreasi di hutan. Disamping itu hutan
sebagai sarana untuk menggali ilmu pengetahun yang tidak pernah selesai, karena
sudah sangat banyak pengetahuan yang didapatkan dari hutan, namun permasalahan
yang ingin terus diteliti selalu saja tersedia.
Selama ini orang sudah sangat percaya bahwa hutan merupakan sumbedaya
alam yang bersifat renewable. Perkataan renewable ini akan tepat jika
hutan dikelola secara lestari, dengan
manfaat yang diberikan oleh hutan semakin meningkat. Namun apabila salah dalam
pengelolaan hutannya, maka sifat renewable ini masih perlu dipertanyakan.
Fakta yang selama kita ketahui
bahwa hutan tidak lagi lestari dimana luas areal hutan alam primer yang
terdapat di Indonesia sudah mulai berkurang, sebagai akibat (1) pengelolaan hutan alam yang tidak mengikuti
aturan yang telah ditentukan, (2) konversi
hutan untuk penggunaan yang lain (seperti perkebunan, pemukiman dan
pertambangan), dan (3) aktivitas perladangan
serta (4) bencana alam seperti
kebakaran. Usaha penanaman kembali pada
areal hutan alam yang ditebang belum dilaksanakan sepenuhnya atau
sungguh-sungguh, terutama bagi pengusaha yang hanya mencari keuntungan
semata-mata. Sementara itu pembangunan hutan tanaman industri (HTI) masih
tersendat-sendat, karena belum memiliki misi yang jelas untuk apa HTI itu
dibangun. Selama ini sebagian besar HTI yang dibangun hanya mengharapkan akan
mendapatkan pimjaman Dana Raboisasi (DR), dan uang yang telah diterima ternyata
tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.
Tidak adanya keseimbangan antara kayu yang dipanen dengan luas hutan yang
ditanam kembali menyebabkan luas hutan di Indonesia ini setiap tahunnya semakin
berkurang.
Untuk menjaga agar luas hutan
tidak berkurang, maka luas yang harus ditanam minimal sama dengan yang
dipanen. Oleh karena itu penanaman hutan
tidak saja harus dilakukan pada areal bekas tebangan hutan alam, akan tetapi
perlu juga menghutankan kembali lahan-lahan yang kritis atau marginal seperti
kawasan padang alang-alang dan semak belukar, areal bekas pertambangan
serta kebakaran hutan.
Penanaman
hutan pada lahan non produktif selain harus memiliki tujuan yang jelas, juga
berusaha agar tanaman bisa tumbuh baik dan cepat. Tanaman akan tumbuh subur
apabila kondisi lingkungan makro dan mikro yang diinginkan sesuai dengan yang
dibutuhkan. Pada tanah yang subur, pertumbuhan tanaman tidak banyak hambatan
atau dengan kata lain tidak memiliki limiting factor. Namun pada tanah kritis seperti bekas
perladangan (padang alang-alang), bekas pertambangan dan kebakaran yang sudah
lama, kondisi lahannya sudah tidak bisa lagi mendukung pertumbuhan
optimal. Oleh karena itu, untuk
mempercepat pertumbuhan tanaman perlu melakukan rekayasa unsur hara tanah agar
tanaman dapat memanen hara sesuai dengan kebutuhannya.
Untuk membangun hutan pada
lahan kritis ada dua alternatif perkayaan hara yang dapat dilakukan agar tanaman
dapat menyerap unsur hara secara maksimal yakni (1)
dengan pemberian pupuk buatan atau alam, dan (2)
inokulasi mikoriza yang memiliki efektifitas yang tinggi. Alternatif pertama bagi kehutanan sangat
berat, karena selain memerlukan biaya yang sangat banyak jumlahnya, juga dampak
pemberian pupuk itu sendiri terhadap lingkungan di sekitarnya. Alternatif kedua mengikuti cara yang sudah
dilakukan oleh tumbuhan agar dapat hidup pada lahan-lahan yang kurang subur. Namun untuk mempercepat proses terjadinya
asosiasi ini, maka perlu melakukan inokulasi cendawan yang bersifat endo maupun
ekto pada tanaman sewaktu masih berada
di persemaian.
Adanya hubungan saling menguntungkan
atau dikenal dengan istilah matualisme antara cendawan dengan mahluk lainnya
pertama kali ditemukan oleh Frank dalam
tahun 1877 pada lichen (semacam tumbuhan lumut). Sejak itu para ilmuan selalu
mencari dan mengembangkan berbagai macam penelitian yang ingin membuktikan temuan Frank tersebut
untuk mencari kebenaran yang terjadi serta faktor-faktor penyebab terjadinya
hubungan itu. Orang yang pertama kali
yakin dengan hasil temuan Frank dan
sekaligus telah menemukan terjadinya hubungan yang saling menguntungkan antara
tanaman dengan fungi adalah de Bary
(1887). Sampai sekarang ini penelitian
mengenai matualisme antara cendawan dengan tumbuhan tingkat tinggi terus berlangsung,
baik dalam bentuk eksplorasi maupun percobaan-percobaan. Meskipun demikian teka-teki hubungan ini
masih belum dapat terjawab secara tuntas, karena masih banyak faktor-faktor
yang tidak diketahui secara pasti yang mendukung matualisme bisa berlangsung secara normal..
Hubungan
yang saling menguntungkan antara cendawan dengan tumbuhan tinggi disebut dengan
mikoriza. Istilah mikoriza
berasal dari miches yang berarti cendawan dan rhizae yang berarti akar, karena
hubungan kedua mahluk ini hanya terjadi pada akar tanaman khususnya pada akar
yang halus dan masih muda, dan tidak pernah terjadi pada bagian yang
lain,. Mengapa hubungan ini hanya
terjadi pada akar lateral yang muda, masih belum ada jawaban yang pasti. Mungkin kemampuan infeksi hifa cendawan hanya
pada sel korteks atau dinding sel yang masih lembut, atau ada enzim-enzim
tertentu yang dimiliki oleh hifa cendawan yang hanya mampu menembus dinding sel
tumbuhan pada batas umur tertentu.
Dalam literatur mikoriza, istilah mikoriza sering dipergunakan untuk menjelaskan hubungan saling ketergantungan dimana tanaman inang menerima hara mineral sedangkan cendawan memperoleh senyawa karbon dari hasil fotosintesis tanaman inangnya. Tipe asosiasi tersebut adalah :
v Vesicular-arbuscular mycorrhizas (VAM) – dimana cendawan zygomecete menghasilkan arbuscule, hifa, dan vesicule dalam sel-sel korteks akar.
v Ectomycorrizas (ECM) – dimana basidiomycetes dan cendawan lainnya membentuk mantel di sekitar perakaran dan jaringan hartig di antara sel-sel akar.
v Orchid mycorrhizaes – dimana cendawan menghasilkan hiphae coils (hifa yang membelit) di dalam akar tanaman orchidaceous dan Ericoid mycorrhizas – termasuk hiphae coil di bagian luar akar rambut yang kecil pada tanaman orde Ericales.
v Ectendo, asosiasi arbotoid dan monotropoid yang sama dengan asosiasi ektomikoriza, namun memiliki anatomis yang khusus.
Selama ini perhatian lebih banyak ditujukan pada VAM dan ECM dibandingkan dengan yang lainnya baik sektor pertanian, perkebunan maunpun kehutanan. Hal ini mungkin disebabkan manfaat yang diberikan oleh kedua tipe asosiasi mikoriza ini dalam meningkatkan produksi atau pertumbuhan ketiga sektor tersebut, dimana secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, sehingga keduanya selalu menjadi perhatian. Meskipun demikian di bidang perternakan, mikoriza ini juga sudah mulai dilirik, karena dapat meningkatkan mutu rumput pakan ternak. Dengan alasan tersebut, maka penelitian-penelitian lebih banyak diarahkan kepada kedua bentuk asosiasi ini yakni VAM dan ECM. Sementara itu Kilronomors dan Kondrick (1993) dalam Brundrett et al. (1994) mengatakan bahwa ‘we may know less than we thing about mycorrizhas, since we have consistenly based broad hyphotesis and coclusion on studies of small number of taxa’.
Sudah banyak peneliti yang membuktikan bahwa mikoriza memberikan manfaat bagi tanaman
dalam hal (1) meningkatkan serapan hara terutama
fosfor, (2) melindungi tanaman dari serangan patogren
akar, (3) Mencegah tanaman terhindar dari kekeringan (4) mencegah tanaman terhindar dari keracunan logam berat. Berdasarkan
fungsi yang diberikannya kepada tanaman, maka inokulasi mikoriza pada tanaman
pada waktu di persemaian sangat
membantu tanaman tersebut jika sudah tumbuh di
lapangan. Secara ringkas sifat simbiosis matualisme
yang berkaitan dengan fungsi, mekanisme, dan teknik inokulasi serta manfaat
bagi tanaman dikemukakan pada bagan berikut ini.
MANFAAT ASOSIASI MIKORIZA UNTUK
Pemanfatan mikoriza dalam pembangunan
hutan pada lahan-lahan kritis akan berhasil jika asosiasi yang terjadi diantara
keduanya berlangsung secara normal, dalam hal ini kedua mahluk yang berasosiasi
saling mendapatkan keuntungan.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa tanaman memperoleh beberapa manfaat
yang diciptakan oleh cendawan agar dapat tumbuh baik, terutama pada lahan-lahan
marginal. Peranan mikoriza dalam
membantu pertumbuhan pohon pada lahan kritis atau marginal dapat dijelaskan
sebagai berikut :
v Mikoriza sebagai
biofertelizer bagi tanaman kehutanan
Harley, 1968 dan
Gianinazzi_Pearson (1981) dalam Leyval dan Berhelin (1986) mengatakan bahwa
kebanyakan akar tanaman yang berasosiasi
dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai simbiosis diketahui
meningkatkan hara fosfat tanaman. Finley
dan Read (1986) telah membuktikan dengan suatu penelitian bahwa miselia
cendawan mikoriza dapat menfasilitasi masuknya fosfor dari tanah ke akar
tanaman. Selanjutnya Smith et al.
(1986) mencoba mengamati serapan hara fosfor dan N pada akar yang bermikoriza
dan membandingkannya dengan yang tidak bermikoriza. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa serapan
fosfor dan nitrogen ke dalam akar lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak
bermikoriza. Jacobsen (1992) mengemukakan
bahwa masuknya P ke akar melalui tiga tahap yakni penyarapan oleh hifa,
translokasi dalam hifa dan transfer kedalam akar yang bersimbiotik. Selanjutnya dikatakan pula bahwa fosfor yang
dikirim oleh hifa tersebut dalam bentuk polyphosphate dan laju translokasi
dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi dan aliran cytoplasmic.
Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa mikoriza bisa menjadi penting bagi tanaman yang
tumbuh di bawah kondisi tanah yang kering, meskipun demikian mekanisme mikoriza
bisa meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan masih belum bisa dijelaskan
(Sanchez-Diaz, 1994). Auge dan Stodola
(1990) dalam Guehl, Garbaye dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa
asosiasi cendawan arbuskula-vesikula
mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap
kekeringan melalui mekanisme seperti penyerapan air yang meningkat, penyesusain
berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air
yang symplastis. Selain itu telah
pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di bawah titik layu permanen,
dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi tanaman non mikoriza. Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang
paling kecil dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut
menyebabkan tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana
kekeringan.
v Mikoriza sebagai biokontrol
tanaman terhadap keracunan logam berat
Menurut Leyval
dan Weissenhorn (1994) logam berat telah dilaporkan menurunkan kelimpahan dan
kolonisasi VAM dan menghambat perkecambahan spora. Meskipun demikian populasi VAM indegenous
potensial yang terdapat dalam tanah terpolusi memperlihatkan kemampuannya beradaptasi. Selain itu telah pula dibuktikan bahwa Glomus
mosseae yang diisolasi dari tanah yang terkontaminasi logam berat lebih
toleran terhadap Cd dan Zn daripada yang diisolasi dari tanah yang tidak
terkontaminasi. Selanjutnya dikemukakan
pula bahwa toksisitas logam berat dalam tanah tergantung pada jenis logam dan
ketersediaannya serta besarnya keragaman antara satu tanah dengan yang
lainnya.
Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn
dan Cu dari tanah yang mengalami defisiensi logam (Gildon dan Tinker, 1983; El-kherbawy et
al., 1989 dalam Vidal et al., 1994). Namun jika logam yang terdapat dalam tanah
pada tingkat yang tinggi, bisa terjadi penurunan serapan metal tersebut (Gildon
dan Tinker, 1983; Pliego-Alfaro, 1988 dalam Vidal et al., 1994).
Meskipun demikian, infeksi dengan mikoriza bisa juga meningkatkan serapan logam
seperti Cd ketika berada pada tingkat
yang beracun (toxic) sebagaimana yang terjadi pada tapak-tapak yang terpolusi (Pliego-Alfaro, 1988
dalam Vidal et al., 1994)
Dengan demikian, sebagai biokontrol penyerapan logam berat, VAM dapat membantu tanaman terhindar dari keracunan logam tersebut. Logam-logam yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar, namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. Selain itu belum juga diketahui dimana logam tersebut disimpan dalam hifanya.
v Mikoriza sebagai biokontrol tanaman terhadap
patogen
Menurut
Read (1986) mikoriza bisa meningkatkan resistensi terhadap penyakit dengan
memperbaiki vigor tanaman inangnya yakni dengan mendominasi lingkungan fisik
sekitar perakaran tanaman inang tersebut untuk mencegah masuknya patogen, serta dengan memperoduksi anti biotik atau
dengan persaingan untuk sumberdaya.
Percobaan yang dilakukan oleh Norman,
Hooker dan Atkinson (1994) terhadap tanaman strawberi untuk mengurangi
penyakit yang disebabkan Phytophtora
fragriae dengan menginokulasikan VAM Glomus spp dan G. etunicatum. Hasil percobaanya menunjukkan bahwa tanaman
yang diinokulasi dengan G. etunicatum dan Glomus spp lebih
sedikit terserang Phytophtora fragriae dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi mikoriza. Selanjutnya Tang Ming dan Chen Hui (1994a)
meneliti hubungan antara kolonisasi mikoriza dan indeks penyakit kanker pohon
poplar di bawah kondisi alam, ternyata inokulasi dengan cendawan endomikoriza
bisa menurunkan serangan penyakit kanker. Menurutnya pula bahwa formasi
asosiasi endomikoriza mempengaruhi aspek fisiologis dan biokimikal poplar yang
meliputi penyerapan air, kandungan fosfor, aktivitas enzim, dan kandungan zat
yang menghambat formasi kanker (Tang Ming dan Chen Hui 1994b). Terhambatnya
formasi kanker ini, dikarenakan asosiasi endmikoriza dapat meningkatkan
aktivitas peroxidase dan polyphenoloxidase dalam kulit poplar, yang
mengakibatkan berkurangnya indeks penyakit kanker.
Memperhatikan
fungsi mikoriza dalam membantu pertumbuhan tanaman inangnya tersebut, maka
mikoriza memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan hutan pada lahan kritis atau marginal. Inokulasi mikoriza pada tanaman yang akan
ditanam pada lahan marginal harus dilakukan, karena umumnya lahan yang sudah
mengalami kerusakan sudah sangat jarang diketemukan cendawan yang bermikoriza. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Brundett
et al (1994) yang membandingkan diversitas dan distribusi cendawan
glomalean (endomikoriza) pada lahan yang sudah rusak dan yang belum rusak
(savana, bukit, hutan hujan tropis dan tapak-tapak yang lembab). Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diversitas
dan distribusi glomalean ternyata sangat jarang diketemukan pada lahan yang
sudah rusak. Lahan bekas perladangan diduga tidak lagi mengandung cendawan
mikoriza akibat pembakaran di atas permukaan tanah yang dilakukan oleh
peladang. Sedangkan pada areal bekas
pertambangan, musnahnya cendawan mikoriza karena penggalian tanah oleh
penambang yang mengakibatkan tanah bagian bawah naik ke atas memusnahkan
vegetasi yang ada di atasnya.
TEKNIK PENGGUNAAN MIKORIZA
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata
pembangunan hutan pada lahan kritis atau marginal memerlukan rekayasa biologi
agar tanaman hutan dapat tumbuh secara normal.
Cendawan pembentuk mikoriza baik yang bersifat ekto maupun endo telah
membutikan kemampuannya berasosiasi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman
inangnya. Meskipun demikian proses
asosiasi ini akan berjalan dengan normal jika pertumbuhan dan perkembangan
cendawan itu sendiri berlangsung secara normal.
Dengan kata lain, agar dapat hidup secara normal, cendawan membutuhkan
kondisi lingkungan yang sesuai dan suplai karbohidrat yang cukup dari tanaman
inangnya. Dari sekian banyak spesies cendawan pembentuk mikoriza, ternyata
masih sedikit sekali yang sudah diketahui persyaratan ekologis dan hara yang
dibutuhkan untuk hidup normal. Kondisi
semacam ini yang menyebabkan inokulasi mikoriza selalu mengalami hambatan. Dari sejumlah penelitian yang sudah
dilakukan pada kultur buatan, ternyata setiap spesies cendawan mikoriza
membutuhkan suhu, pH, gula dan nitrogen yang berbeda-beda.
Dengan
terjadinya variasi kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh cendawan, maka
inokulasi tidak hanya memperhatikan kecocokan dengan tanaman inangnya, namun
juga harus mencocokannya lagi dengan kondisi lingkungan tapak yang akan
ditanam. Oleh karena itu tiga tahap uji harus dilakukan jika
menggunakan mikoriza sebagai pupuk hayati untuk kegiatan pembangunan hutan pada
lahan kritis atau marginal yakni:
Tahap I, pengujian kecocokan spesies cendawan dengan
tanaman inangnya, dimana pengujian ini dapat dilakukan sewaktu bibit masih
berada di persemaian. Sebagai langkah
awal sebelum melakukan inokulasi adalah indentifikasi cendawan untuk menentukan
secara pasti spesies atau genus cendawan yang diinokulasikan.
Tahap II, pengujian kecocokan spesies cendawan dengan
kondisi lingkungan tapak yang akan ditanam, dan ini dapat dilakukan dalam
bantuk uji spesies cendawan mikoriza. Pada tahap ini spesies atau genus
cendawan yang dapat berasosiasi dengan tanaman inangnya dan bersama tanamannya
di tanam di lapangan.
Tahap III, perbanyakan spora (bank spora) untuk penyediaan
inokulasi secara besar-besaran dalam rangka pembangunan hutan. Genus atau spesies cendawan yang mampu
beradaptasi dengan kondisi ekologis tapak yang akan ditanam dan dinyatakan
efektif bagi tanaman inangnya perlu diperbanyak untuk mendapatkan isolat dalam
jumlah cukup pada setiap saat diperlukan.
Penggunaan
mikoriza untuk membangunan hutan pada lahan kritis atau marginal akan berhasil
dengan baik jika tiga tahap seperti tersebut dilaksanakan secara lengkap. Pada
saat sekarang ini yang sudah mulai dilakukan adalah tahap I dan III, sedangkan
tahap II sering dilewatkan, sehingga penggunaan inokulum yang sudah dikatakan
memiliki efektifitas yang tinggi, namun selalu kurang baik setelah dipindahkan
ke lapangan.
Kelestarian
hutan akan tetap terjaga, jika antara jumlah hutan yang dipanen dan yang
ditanam tetap seimbang.
Hutan yang ditanam pada lahan
kritis atau marginal tidak dapat tumbuh baik, apabila tidak ada rekayasa
peningkatan penyerapan unsur hara.
Penggunaan pupuk hayati dari
cendawan mikoriza (biofertelizer) merupakan alternatif terbaik untuk
meningkatkan serapan hara tanaman hutan pada lahan kritis atau marginal.
Penggunaan mikoriza untuk pembangunan
hutan di lahan kritis akan berhasil, jika dilakukan melalui tiga tahap
pengujian yakni (1) kecocokan cendawan
dengan tanaman inangnya, (2) kecocokan
cendawan dengan lingkungan tapak yang akan ditanam dan (3)
perbanyakan inokulum cendawan yang sudah cocok dengan tanaman inang dan
lingkungan tersebut.
Brundrett, M.,
Abbott, L.K. Jasper, D.A., and Aswath, N., 1994. Mycorrhizal Association in
Disturbed and Natural Habitats in Tropical
Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T.,
and Malanjczuk, N., 1994. Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. International Mycorrhizal
Workshop, Kaiping
Finley,
R.D and Read., D.J., 1986. The Uptake and Distribution
of Phosphorus by Ectomycorrhizal Mycelium. Physiological and Genetical Aspects of Mycorrhizae.
Proceeding of 1st European Symposium on Mycorrhizae,
Leyval & Bethrelen, J., 1986. Comparison between the Utilization of Phosphorus
from Insoluble Mineral Phosphate by Ectomycorrhizal
Fungi Rhizobacteria.
Physiological and Genetical
Aspects of Mycorrhizae. Proceeding of 1st European
Symposium on Mycorrhizae,
Leyval, C., and Weissenborn,
Norman, J.R., Hooker, J.E. and Atkinson, D., 1994. Arbuscular Mycorrhizae and a Reuction in Disease Caused by the Root Pathogen Phytoptora fragariae in Micropropagated Strawbery Plants. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 459-460.
Read., D.J., 1986.
Non-nutrional Effects of Mycorrhizal
Infection. Physiological and Genetical
Aspects of Mycorrhizae. Proceeding of 1st European Symposium
on Mycorrhizae,
Sanchez-Diaz, M., 1994. Survival of Arbuscular Mycorrhizal Plants in Drying Soil. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 407-412.
Smith,
A., Smith,
S.E.,
Tang Ming and Chen Hui, 1994a. Relation between the poplar mycorrhizae and canker. Acta Pedologica Sinica, 31 (supplement), 218-223.
Tang
Ming and Chen Hui, 1994b. Effects of Vesicular-Arbuscular
Mycorrhizas on the Resistance of poplar to a Canker Fungus (Dothiorella gregaria).
Mycorrhizas for
Vidal, M.T., Azcon-Aguiler and Barea J.M., 1994. Effects of Heavy Metals (Zn, Cd, and Cu) on Arbuscular Mycorrhiza Formation. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 487-490.