Yakudza

 

Re-edited 20 December 2000

Copyright ©  2000  Abd. Aziz Syarif

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

SAINS DAN ETIKAa

 

 

oleh:

 

Abd. Aziz Syarifb

 

 

 

Pendahuluan

 

“………..agar buah ciptaan dari pemikiran kita merupakan berkah, dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan.  Janganlah kau lupakan hal ini di tengan tumpukan diagram dan persamaan.(Einstein kepada muridnya, 1938)

 

Publisitas keberhasilan kloning pada domba baru-baru ini membangkitkan kembali perdebatan yang sudah cukup lama yakni antara penganut yang menyatakan bahwa sains harus bebas nilai dengan penganut yang berpendirian bahwa sains harus mengandung nilai-nilai kebaikan bagi manusia atau kemanusiaan.  Panganut paham pertama berpendapat bahwa sains hanya bertugas mengungkap dan menyimpilkan fakta yang benar secara ilmiah.  Dalam pengungkapan fakta para ilmuah bebas merambah atau menjelajah ke dalam bidang atau sudut mana saja tanpa terikat pada

aspek etika, moral, atau tatanan sosial yang berlaku. 

            Sebaliknya, penganut paham kedua berpendirian bahwa sains harus tidak bebas nilai.  Sains harus dibingkai oleh nilai-nilai moral atau kemanusiaan.  Lebih jauh lagi, mereka berpendapat bahwa penelitian yang berpotensi atau dapat mengarah pada akibat yang merugikan nilai kemanusiaan atau tatanan sosial harus dicegah.  Dalam kasus kloning domba di atas, penganut paham ini akan menentangnya dengan argumentasi bahwa teknik kloning pada domba akan dapat diterapkan pada manusia.  Bila hal ini terjadi, dampaknya bagi tatanan sosial masyarakat akan sangat merugikan.

            Walaupun dikotomi tentang bebasnilai-tidaknya sains merupkan wacana yang sudah lama, subjek ini nampaknya masih relevan saat ini.  Hal ini mengingat bahwa dewasa ini makin banyak penelitian (termasuk penelitian dasar) yang dibiayai oleh perusahaan multinasional (seperti Monsanto, Dupon, ICI dll.) yang tentu tidak terlepas dari kepentingan bisnis mereka.  Berbisnis memang tidak salah, namun dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan, tidak jarang pebisnis mengabaikan moral dan etika.

            Sesungguhnya bebasnilai-tidaknya sains adalah masalah rumit yang tidak dapat dijawab dengan sekadar ya atau tidak (Daldjoeni, 1999).  Karena itu, pada paper ini penulis bermaksud meninjau masalah ini dari pendapat-pendapat filsuf, baik dari zaman Yunani, pertengahan ataupun kontemporer.

 

____________________________________________________________________

a)Paper sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Pengantar ke Falsafah Sains, IPB            

  Bogor, 2000 (Asuhan  Prof.Dr. Rudy C. Tarumingkeng, PhD)

b) Mahasiswa Program S3 Agronomi IPB Bogor (NRP P03600005)

 

 

 

Teori-Teori tentang Sains

 

“Sains adalah kekuasaan………..(Francis Bacon)

 

A.Teori Tradisional (Klasik)

Teori ini berpendapat bahwa sains harus membatasi diri pada pengungkapan dan penyimpulan fakta objektif dan bebas dari penilaian manusia.  Sains bersifat netral, tidak mengenal sifat baik atau buruk.  Berdasarkan hal ini maka sebenarnya label tradisional/klasik untuk teori ini kurang tepat karena memberi gambaran sesuatu yang berlawanan dengan dunia moderen.  Padahal teori ini masih banyak (bahkan mungkin dominan) dianut oleh ilmuwan moderen.  Pengertian tradisional dalam konteks ini sebenarnya lebih menggambarkan bahwa teori ini sudah dianut sejak waktu yang lama yakni sejak zaman keemasan filsafat Yunani.  Horkheimer menyebut teori/paham ini bersifat kontemplatif yang menurut Habermas menjadi ciri khas sebagian besar pemikir Barat dari zaman Yunani sampai sekarang (Suseno, 1992).

 

B. Teori Kritis

Teori ini berkembang tahun 30 an di Jerman yakni di Institut fur Sosialforschung di Frankfurt, sehingga sering juga disebut aliran Frankfurt.  Tokoh-tokoh terkemuka dari teori ini adalah Horkheimer, Adorno, dan Marcuse.  Sebenarnya teori ini berasal dari “Teori Kritik Masyarakat” yang intinya adalah bermaksud membebaskan masyarakat dari manipulasi ilmuwan moderen.  Teori tersebut mengambil inspirasi dari pemikiran Karl Marx, namun tidak mengikuti Marx yang dianggap radikal-revolusioner.

Salah satu unsur utama dari teori kritis adalah keyakinan bahwa di balik selubung objektivitas sains tersembunyi kepentingan kekuasaan.  Kepentingan ini diyakini  bersifat ekonomis, kapitalis, dan dehumanis.  Karena itu, penganut teori kritis ingin membuat semacam pencerahan (enlightenment/aufklarung) dengan mengungkap tabir yang menutupi maksud yang tidak manusiawai dari perkembangan sains.  Sinyalemen tentang tidak sterilnya sains dari kepentingan sebenarnya sudah dikemukakan berabad-abad silam oleh filsuf Yunani yakni Francis Bacon dengan ucapannya yang penulis kutip pada awal bab ini.  Nasoetion (1999) juga mengemukakan bahwa sains dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan bagi sebagian umat dengan merugikan umat lainnya.

            Teori kritis mencapai kejayaan pada tahun 60 an di Eropah dan menjadi inspirasi sebuah gerakan masyarakat dan mahasiswa.  Sayangnya, gerakan ini berkembang menjadi gerakan anti masyarakat industri dan kapitalis, sehingga sering disebut “Neo Merxisme”.  Sejalan dengan gagalnya Marxisme paham teori kritis juga memudar.  Perkembangan dunia ternyata tidak sesuai dengan pengandaian (presumsi) Marx bahwa manusia adalah makhluk berkebutuhan, dan hal ini merupakan peluang untuk dimanipulasi oleh kapitalisme dengan kedok perkembangan sains.

 

 

C.Teori Habermas.

Jurgen Habermas adalah salah seorang pemikir utama zaman moderen dan dianggap sebagai filsuf Jerman terkemuka dalam dua puluh tahun terakhir.  Sumbangan berarti Habermas adalah hasil penelitiannya tentang hubungan antara sains dan kepentingan. 

            Salah satu kesimpulan penting dari hasil penelitian Habermas adalah bahwa tidak masuk akal untuk menyimpulkan secara umum tentang kepentingan di belakang setiap ilmu (sains).  Hal inilah yang membedakan Habermas dengan tokoh-tokoh teori kritis.   Habermas membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok dengan masing-masing kelompok kepentingan, objek, dan ciri yang khas.  Dari sini  terlihat bahwa Habermas juga meninggalkan teori tradisional yang menganggap bahwa sains bebas dari semua kepentingan.

            Kelompok ilmu pertama adalah ilmu –ilmu empiris-analitis seperti ilmu alam.  Tujuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan alam untuk pemenuhan kebutuhan manusia, jadi tetap memiliki kepentingan.  Kelompok kedua adalah ilmu-ilmu historis- hermeneutis seperti ilmu sejarah.  Tujuan kelompok ilmu ini adalah pengungkapan makna, pengorganisasian objek untuk kepentingan perluasan intersebjektivitas sehingga diperoleh peningkatan saling pengertian untuk tujuan tindakan bersama.  Kelompok ketiga adalah ilmu-ilmu tindakan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, politik, serta ilmu-ilmu reflektif seperti ideologi, psikoanalitik dan filsafat.  Tujuan kelompok ilmu ini adalah untuk membantu manusia dalam bertindak.  Lingkungan kelompok ilmu ini adalah kekuasaan.

 

D.“Neo Kritisme”

Banyak yang berpendapat bahwa teori kritis yang mengambil inspirasi dari pemikiran Marx telah gagal karena perkembangan dunia ternyata tidak sesuai dengan proyeksi Marxisme.  Menurut penulis pendapat ini perlu dipertanyakan.  Bolehjadi adanya gerakan masyarakat yang diinspirasi teori kritis inilah yang merobah arah perkembangan dunia.  Jika gerakan kritis masyarakat tahun 60 an tidak ada, mungkin saja arah perkembangan dunia mengikuti proyeksi Marx.  Ditinjau dari perspektif ini, tori kritis sebenarnya telah berhasil. 

            Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah teori kritis masih relevan dengan tatanan dunia sekarang yang didominasi kapitalisme?  Menurut penulis adanya dominasi kapitalis seperti sekarang ini justru membutuhkan revitalisasi kritisme masyarakat (penulis istilahkan dengan “Neo Kritisme”) dalam arti mengkritisi perkembangan sains yang bepotensi berkembang menjadi eksploitasi manusia dan sumberdaya alam secara berlebihan.  Fenomena “Prosperity Paradox” dan “Tragedy of the Common” adalah fakta yang menunjukkan bahwa kita harus tetap kritis terhadap perkembangan sains. 

            Kita tidak dapat mengandalkan otonomi moral ilmuwan  model Kant.  Moral model Aristoteles yang mengandalkan pada negara juga sudah ketinggalan zaman.  Menurut penulis, moral model Hegel yang meletakkan otonomi moral individu dalam dalam kerangka tatanan sosial kemasyarakatan, dan “Etika Diskurs” model Habermas yang menekankan bahwa keabsahan suatu nilai ditentukan oleh norma yang disepakati dalam sutu diskurs (wacana) yang praktis dan bebas tekanan, dapat digunakan untuk mengkritisi perkembangan sains dewasa ini.

 

 

Penutup

 

            Sains tidak terlepas dari kepentingan manusia, baik yang menemukannya atau pihaklain yang mungkin terkena dampaknya.  Dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan konflik kepentingan, penilaian dari segi moralitas terhadap sains tidak boleh deserahkan sepenuhnya kepada pada ilmuwan saja, yang mungkin disadari atau tidak telah terkontaminasi oleh maksud kurang baik.  Penilaian terhadap sains harus juga melibatkan pihak-pihak terkait yang mungkin terkena dampaknya, atau pihak yang peduli terhadap hal ini.

 

Pustaka

 

Daldjoeni, N. 1999.  Hubungan Etika dengan Ilmu. Dalam Suriasumantri, J.S.; Ilmu dalam Perspektif.  Yayasan Obor, Jakarta.

Nasoetion, A.H. 1999.  Pengantar ke Filsafat Sains.  Pustaka Litera Antar Nusa.

Suriasumantri, J.S. 1999.  Tentang Hakekat Ilmu, sebuah Pengan tar Redaksi. dalam Suriasumantri; Ilmu dalam Perspektif.  Yayasan Obor, Jakarta.

Suseno, F.M. 1992.  Filsafat sebagai Ilmu Kritis.  Yayasan Kanisius, Yogyakarta.