Re-edited
Copyright © 2000 Abd. Aziz Syarif
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
SAINS
DAN ETIKAa
oleh:
Abd. Aziz Syarifb
Pendahuluan
“………..agar buah ciptaan dari pemikiran kita merupakan berkah, dan bukan
kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah
kau lupakan hal ini di tengan tumpukan diagram dan persamaan.(Einstein kepada muridnya, 1938)
Publisitas keberhasilan kloning pada domba
baru-baru ini membangkitkan kembali perdebatan yang sudah cukup lama yakni
antara penganut yang menyatakan bahwa sains harus bebas nilai dengan penganut
yang berpendirian bahwa sains harus mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
manusia atau kemanusiaan. Panganut paham
pertama berpendapat bahwa sains hanya bertugas mengungkap dan menyimpilkan
fakta yang benar secara ilmiah. Dalam
pengungkapan fakta para ilmuah bebas merambah atau menjelajah ke dalam bidang
atau sudut mana saja tanpa terikat pada
aspek etika, moral, atau tatanan sosial yang berlaku.
Sebaliknya, penganut paham
kedua berpendirian bahwa sains harus tidak bebas nilai. Sains harus dibingkai oleh nilai-nilai moral
atau kemanusiaan. Lebih jauh lagi, mereka
berpendapat bahwa penelitian yang berpotensi atau dapat mengarah pada akibat
yang merugikan nilai kemanusiaan atau tatanan sosial harus dicegah. Dalam kasus kloning domba di atas, penganut
paham ini akan menentangnya dengan argumentasi bahwa teknik kloning pada domba
akan dapat diterapkan pada manusia. Bila
hal ini terjadi, dampaknya bagi tatanan sosial masyarakat akan sangat
merugikan.
Walaupun dikotomi tentang
bebasnilai-tidaknya sains merupkan wacana yang sudah lama, subjek ini nampaknya
masih relevan saat ini. Hal ini
mengingat bahwa dewasa ini makin banyak penelitian (termasuk penelitian dasar)
yang dibiayai oleh perusahaan multinasional (seperti Monsanto, Dupon, ICI dll.)
yang tentu tidak terlepas dari kepentingan bisnis mereka. Berbisnis memang tidak salah, namun dalam era
globalisasi yang sarat dengan persaingan, tidak jarang pebisnis mengabaikan
moral dan etika.
Sesungguhnya
bebasnilai-tidaknya sains adalah masalah rumit yang tidak dapat dijawab dengan
sekadar ya atau tidak (Daldjoeni, 1999).
Karena itu, pada paper ini penulis bermaksud meninjau masalah ini dari
pendapat-pendapat filsuf, baik dari zaman Yunani, pertengahan ataupun
kontemporer.
____________________________________________________________________
a)Paper sebagai salah satu tugas pada mata kuliah
Pengantar ke Falsafah Sains, IPB
Bogor, 2000 (Asuhan Prof.Dr. Rudy C. Tarumingkeng, PhD)
b) Mahasiswa Program S3 Agronomi IPB Bogor (NRP P03600005)
“Sains
adalah kekuasaan………..(Francis
Bacon)
A.Teori Tradisional (Klasik)
Teori ini berpendapat bahwa sains harus membatasi
diri pada pengungkapan dan penyimpulan fakta objektif dan bebas dari penilaian
manusia. Sains bersifat netral, tidak
mengenal sifat baik atau buruk.
Berdasarkan hal ini maka sebenarnya label tradisional/klasik untuk teori
ini kurang tepat karena memberi gambaran sesuatu yang berlawanan dengan dunia
moderen. Padahal teori ini masih banyak
(bahkan mungkin dominan) dianut oleh ilmuwan moderen. Pengertian tradisional dalam konteks ini
sebenarnya lebih menggambarkan bahwa teori ini sudah dianut sejak waktu yang
lama yakni sejak zaman keemasan filsafat Yunani. Horkheimer menyebut teori/paham ini bersifat
kontemplatif yang menurut Habermas menjadi ciri khas sebagian besar pemikir
Barat dari zaman Yunani sampai sekarang (Suseno, 1992).
B. Teori Kritis
Teori ini berkembang tahun 30 an di Jerman
yakni di Institut fur Sosialforschung di Frankfurt, sehingga sering juga
disebut aliran Frankfurt. Tokoh-tokoh
terkemuka dari teori ini adalah Horkheimer, Adorno, dan Marcuse. Sebenarnya teori ini berasal dari “Teori
Kritik Masyarakat” yang intinya adalah bermaksud membebaskan masyarakat dari
manipulasi ilmuwan moderen. Teori
tersebut mengambil inspirasi dari pemikiran Karl Marx, namun tidak mengikuti
Marx yang dianggap radikal-revolusioner.
Salah satu unsur utama dari teori kritis adalah
keyakinan bahwa di balik selubung objektivitas sains tersembunyi kepentingan
kekuasaan. Kepentingan ini diyakini bersifat ekonomis, kapitalis, dan
dehumanis. Karena itu, penganut teori
kritis ingin membuat semacam pencerahan (enlightenment/aufklarung) dengan
mengungkap tabir yang menutupi maksud yang tidak manusiawai dari perkembangan
sains. Sinyalemen tentang tidak
sterilnya sains dari kepentingan sebenarnya sudah dikemukakan berabad-abad
silam oleh filsuf Yunani yakni Francis Bacon dengan ucapannya yang penulis
kutip pada awal bab ini. Nasoetion
(1999) juga mengemukakan bahwa sains dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan
bagi sebagian umat dengan merugikan umat lainnya.
Teori kritis mencapai
kejayaan pada tahun 60 an di Eropah dan menjadi inspirasi sebuah gerakan
masyarakat dan mahasiswa. Sayangnya,
gerakan ini berkembang menjadi gerakan anti masyarakat industri dan kapitalis,
sehingga sering disebut “Neo Merxisme”.
Sejalan dengan gagalnya Marxisme paham teori kritis juga memudar. Perkembangan dunia ternyata tidak sesuai
dengan pengandaian (presumsi) Marx bahwa manusia adalah makhluk berkebutuhan,
dan hal ini merupakan peluang untuk dimanipulasi oleh kapitalisme dengan kedok
perkembangan sains.
C.Teori Habermas.
Jurgen Habermas adalah salah seorang pemikir utama
zaman moderen dan dianggap sebagai filsuf Jerman terkemuka dalam dua puluh
tahun terakhir. Sumbangan berarti
Habermas adalah hasil penelitiannya tentang hubungan antara sains dan
kepentingan.
Salah satu kesimpulan
penting dari hasil penelitian Habermas adalah bahwa tidak masuk akal untuk
menyimpulkan secara umum tentang kepentingan di belakang setiap ilmu
(sains). Hal inilah yang membedakan
Habermas dengan tokoh-tokoh teori kritis.
Habermas membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok dengan
masing-masing kelompok kepentingan, objek, dan ciri yang khas. Dari sini
terlihat bahwa Habermas juga meninggalkan teori tradisional yang
menganggap bahwa sains bebas dari semua kepentingan.
Kelompok ilmu pertama adalah ilmu –ilmu
empiris-analitis seperti ilmu alam.
Tujuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan alam untuk pemenuhan kebutuhan
manusia, jadi tetap memiliki kepentingan.
Kelompok kedua adalah ilmu-ilmu historis- hermeneutis seperti ilmu
sejarah. Tujuan kelompok ilmu ini adalah
pengungkapan makna, pengorganisasian objek untuk kepentingan perluasan
intersebjektivitas sehingga diperoleh peningkatan saling pengertian untuk
tujuan tindakan bersama. Kelompok ketiga
adalah ilmu-ilmu tindakan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, politik, serta
ilmu-ilmu reflektif seperti ideologi, psikoanalitik dan filsafat. Tujuan kelompok ilmu ini adalah untuk membantu
manusia dalam bertindak. Lingkungan
kelompok ilmu ini adalah kekuasaan.
D.“Neo Kritisme”
Banyak yang berpendapat bahwa teori
kritis yang mengambil inspirasi dari pemikiran Marx telah gagal karena
perkembangan dunia ternyata tidak sesuai dengan proyeksi Marxisme. Menurut penulis pendapat ini perlu
dipertanyakan. Bolehjadi adanya gerakan
masyarakat yang diinspirasi teori kritis inilah yang merobah arah perkembangan
dunia. Jika gerakan kritis masyarakat tahun 60 an tidak
ada, mungkin saja arah perkembangan dunia mengikuti proyeksi Marx. Ditinjau dari perspektif ini, tori kritis
sebenarnya telah berhasil.
Pertanyaan selanjutnya
adalah, apakah teori kritis masih relevan dengan tatanan dunia sekarang yang
didominasi kapitalisme? Menurut penulis
adanya dominasi kapitalis seperti sekarang ini justru membutuhkan revitalisasi
kritisme masyarakat (penulis istilahkan dengan “Neo Kritisme”) dalam arti
mengkritisi perkembangan sains yang bepotensi berkembang menjadi eksploitasi
manusia dan sumberdaya alam secara berlebihan.
Fenomena “Prosperity Paradox” dan “Tragedy of the Common” adalah fakta
yang menunjukkan bahwa kita harus tetap kritis terhadap perkembangan
sains.
Kita tidak dapat
mengandalkan otonomi moral ilmuwan model
Kant. Moral model Aristoteles yang
mengandalkan pada negara juga sudah ketinggalan zaman. Menurut penulis, moral model Hegel yang
meletakkan otonomi moral individu dalam dalam kerangka tatanan sosial
kemasyarakatan, dan “Etika Diskurs” model Habermas yang menekankan bahwa
keabsahan suatu nilai ditentukan oleh norma yang disepakati dalam sutu diskurs
(wacana) yang praktis dan bebas tekanan, dapat digunakan untuk mengkritisi
perkembangan sains dewasa ini.
Sains tidak terlepas dari
kepentingan manusia, baik yang menemukannya atau pihaklain yang mungkin terkena
dampaknya. Dalam era globalisasi yang
sarat dengan persaingan dan konflik kepentingan, penilaian dari segi moralitas
terhadap sains tidak boleh deserahkan sepenuhnya kepada pada ilmuwan saja, yang
mungkin disadari atau tidak telah terkontaminasi oleh maksud kurang baik. Penilaian terhadap sains harus juga
melibatkan pihak-pihak terkait yang mungkin terkena dampaknya, atau pihak yang
peduli terhadap hal ini.
Daldjoeni, N. 1999. Hubungan Etika dengan Ilmu. Dalam
Suriasumantri, J.S.; Ilmu dalam Perspektif. Yayasan Obor, Jakarta.
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Pustaka Litera Antar Nusa.
Suriasumantri, J.S. 1999. Tentang Hakekat Ilmu, sebuah Pengan tar
Redaksi. dalam Suriasumantri; Ilmu
dalam Perspektif. Yayasan Obor, Jakarta.
Suseno, F.M. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yayasan Kanisius,